TIMES KEDIRI – Sri Aji Joyoboyo, raja kerajaan Panjalu/Kediri yang punya nama asli Prabu Jayabaya, dikenal lekat dengan Jangka Jayabaya, ramalan terkenal yang diyakini mampu meramalkan berbagai peristiwa besar Nusantara. Mulai dari penjajahan bangsa asing hingga datangnya masa kemerdekaan.
Kisah Prabu Jayabaya tidak bisa dipisahkan dari jejak budaya Kabupaten Kediri. Kebijaksanaan Prabu Jayabaya, membuatnya tidak hanya dihormati tidak hanya sebagai raja, tetapi juga sebagai sosok spiritual.
Ramalan Jayabaya sendiri beredar dalam berbagai versi, tetapi ada beberapa yang sangat populer dan selalu dikaitkan dengan peristiwa besar dalam sejarah Indonesia, seperti masa penjajahan yang dialami Indonesia. Jayabaya meramalkan bahwa tanah Jawa akan dikuasai oleh “bangsa kulit putih” (sering dihubungkan dengan Belanda) dan “bangsa berkulit kuning” (dihubungkan dengan Jepang). Masyarakat percaya bahwa ramalan ini terbukti pada masa kolonialisme dan pendudukan Jepang di abad ke-20.
Kemudian tentang masa penindasan dan penderitaan yang dikaitkan dengan Perang Besar di tanah Jawa. Dalam ramalan disebutkan bahwa rakyat Jawa akan mengalami penderitaan panjang dibawah kekuasaan asing. Pada periode itu: tanah dirampas, kerja paksa diberlakukan, kelaparan melanda, dan berbagai perang besar pecah—mulai dari Perang Diponegoro (1825–1830) hingga masa Perang Dunia II ketika Jepang masuk dan kemudian disusul dengan Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945–1949).
Kalimat yang populer terkait ramalan tersebut adalah “Akan datang zaman edan, wong bener kalah karo wong licik, wong cilik nggeragas, wong gedhe nggege mangsa.” Dimana kalimat itu berarti “Akan ada masa kacau di mana yang benar kalah oleh yang licik, rakyat kecil menderita, sementara penguasa hidup berlebihan.”
Lalu tentang Nusantara akan merdeka. Banyak orang percaya bahwa ramalan Jayabaya tentang berakhirnya kekuasaan bangsa asing di Nusantara terbukti dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Kalimat populer terkait ramalan tersebut adalah “Sawijining dina bakal ana ratu sing adil lan welas asih, kang marakake kamulyan.” Dimana kalimat itu berarti,“Suatu hari akan datang pemimpin adil dan bijaksana yang membawa kemakmuran.”
Di Kabupaten Kediri, Petilasan Sri Aji Joyoboyo, yang berada di Desa Menang, Kecamatan Pagu, dipercaya sebagai tempat sang raja untuk moksa atau lenyap dari dunia fana menuju kesempurnaan abadi.
Di area petilasan terdapat tiga prasasti penting yang dipercaya sebagai jejak moksa Sang Raja, yaitu Loka Mahkota yang merupakan tempat Jayabaya melepas mahkotanya, Loka Busana yang merupakan tempat ia meninggalkan pakaian kerajaan, dan Loka Moksa yang diyakini sebagai titik terakhir dirinya sebelum lenyap menuju keabadian. Meski hingga kini belum ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa Prabu Jayabaya benar-benar moksa. Namun keyakinan masyarakat dan tradisi yang terus hidup di Petilasan.
Plt Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Kediri, Mustika Prayitno Adi menjelaskan bahwa obyek Petilasan Sri Aji Joyoboyo adalah salah satu peninggalan budaya di Kediri yang harus dilestarikan. “Petilasan tersebut adalah salah satu peninggalan budaya di Kediri yang harus dilestarikan dan ritual sesaji Sri Aji Joyoboyo itu sudah terdaftar sebagai kekayaan intelektual komunal di Kementrian Hukum pada tahun 2021,” jelas Mustika.
Banyak cerita dan rahasia yang hidup dan mengakar di masyarakat Kediri. Bagi sebagian orang, kisah ini hanyalah legenda namun bagi masyarakat Kediri, moksa Jayabaya adalah warisan nilai tentang kebijaksanaan, keabadian, dan penghormatan terhadap leluhur.
Setiap malam 1 Suro sendiri, petilasan memang sering dikunjungi Ratusan orang dari berbagai kota di Jawa Timur berkumpul untuk berziarah dan melakukan prosesi napak tilas. Upacara ini diyakini sebagai bentuk penghormatan pada Jayabaya sekaligus ikhtiar untuk membersihkan diri lahir dan batin.Masyarakat setempat memandang tradisi ini sebagai bentuk andhap asor—kerendahan hati dan penghormatan pada leluhur—tanpa memandang agama atau latar belakang.
“Kita sebagai anak-cucu Nusantara juga tidak boleh lupa pada pahlawan yang sudah berjuang membangun Nusantara, membabat tanah Jawa di masa lalu,” ucap Eko, salah satu warga desa Menang. (*)
Pewarta | : Yobby Lonard Antama Putra |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |