TIMES KEDIRI, KEDIRI – Dalam ekosistem perguruan tinggi, lembaga pers mahasiswa memiliki peran strategis dalam merespons penyebaran konten berbahaya di ranah daring. Peran ini menjadikan pers mahasiswa sebagai aktor penting dalam memerangi disinformasi dan meningkatkan kesadaran literasi media di kalangan mahasiswa.
Sayangnya, lembaga pers mahasiswa masih menghadapi berbagai tantangan mulai dari ancaman fisik maupun digital, hingga keterbatasan akses terhadap pengembangan kapasitas secara profesional.
Perlindungan terhadap pers mahasiswa ini, menjadi fokus utama dalam seminar nasional Peringatan World Press Freedom Day 2025, yang diinisiasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berkolaborasi dengan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan Forum Alumni Aktivis Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI).
Didukung penuh UNESCO, seminar nasional yang bertempat di IAIN Kediri ini, mengangkat tema ‘Memperkuat Perlindungan Terhadap Pers Mahasiswa di Era Digital.'
Ketua AJI Indonesia Nany Afrida menyebut, saat ini indeks kebebasan pers Indonesia turun ke peringkat 124 dari 180 negara. Banyak terjadi kekerasan jurnalis profesional di daerah, bahkan juga menimpa mereka dari kalangan pers mahasiswa.
“Di banyak daerah jurnalis masih mengalami kekerasan dan intimidasi. Itu kita ngomong tentang jurnalis profesional. Tapi kita jarang sekali membicarakan tentang teman-teman pers mahasiswa. Bahkan, di indeks kebebasan pers pun yang dikeluarkan Dewan Pers juga jarang,” tuturnya, Minggu, (04/05/2025).
Pers mahasiswa berfungsi sebagai media independen kalangan muda yang kritis dan analitis, yang tidak hanya meliput isu-isu di lingkungan kampus, tetapi juga permasalahan yang terjadi di masyarakat secara luas.
“Tantangan ke depan itu semakin kompleks. Di satu sisi kita menghadapi konten berbahaya, hoax, disinformasi, misinformasi, ujaran kebencian dan lain-lainnya. Tapi di sisi lain pers mahasiswa juga menjadi sasaran sensor, tekanan institusi bahkan serangan digital. Oleh karena itu saya pikir acara ini begitu penting. Karena kita tidak cuma duduk bertemu disini, tapi juga membuat jaringan,” tambahnya.
Perwakilan UNESCO Ana Lomtadze mengatakan, bahwa pers mahasiswa memainkan peran yang sangat penting di kampus. Pers mahasiswa mewakili suara-suara strategis, media pemuda independen, meliput isu-isu kampus dan masyarakat dengan lensa analitis kritis.
Tapi disisi lain, pers mahasiswa, sama seperti pers profesional juga dihadapkan pada ancaman kecerdasan buatan terhadap kebebasan berekspresi.
“Saatnya kita merenungkan tantangan dan tanggung jawab yang kita hadapi dengan transformasi digital. Kita menyaksikan perubahan mendalam di dunia yang menciptakan simetri kekuatan yang semakin besar antara komunitas lokal dan perusahaan global, yang terkadang juga digunakan oleh pemerintah untuk mensurei dan menindak ruang sipil,” kata Ana.
Menurut Ana, pembekalan literasi media jadi hal penting di tengah tantangan tersebut. Tidak hanya untuk menavigasi lanskap digital tetapi juga untuk menghasilkan jurnalisme profesional independen yang melayani publik.
“Cara kita memandang literasi adalah bahwa literasi membantu membekali kemampuan untuk berpikir kritis, memverifikasi fakta, mengenali informasi ini dan secara keseluruhan membantu menavigasi platform digital, dengan lebih aman dan kritis,” jelasnya.
Ana juga memastikan UNESCO dan AJI juga akan tetap menegakkan jurnalisme dan etika pada teman-teman pers mahasiswa.
“Inisiatif ini juga penting dalam meningkatkan keamanan digital Anda dan membantu Anda tetap aman sambil menegakkan jurnalisme dan etika,” pungkasnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Hadapi Tantangan, Penguatan Literasi Media Pers Mahasiswa Jadi Keharusan
Pewarta | : Yobby Lonard Antama Putra |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |